Kamis, 10 November 2016

Cerpen sederhana

Aku dan Mereka
Pagi itu di hari Jumat, cuaca cukup mendukung untuk berangkat ke sekolah. Dengan pakaian olahraga, aku diantar Ayahku menggunakan sepeda motor ke sekolah. Dalam perjalanan, aku merasakan hawa dingin yang tidak enak dan seketika itu pula bulu kudukku berdiri tanpa kutahu sebabnya.
Seperti biasa, sebelum memasuki gerbang sekolah, tak lupa aku pamitan dan mencium tangan Ayahku terlebih dahulu. Memasuki gerbang sekolah, hawa tak enak yang sedari tadi menghantuiku diperjalanan semakin menjadi-jadi. Semakin cepat aku melangkah, semakin tak enak pula hawanya. Hingga pada saatnya, aku terkejut setengah mati dengan apa yang kulihat. Ada seorang lelaki yang tewas mengenaskan didepanku. Kepalanya hampir pecah dengan darah yang bercucuran dan darah itu mengenai tepat di telapak sepatuku. Kejadian itu terjadi tepat di lapangan sepakbola yang ada di sekolahku. Menyeramkan memang ! Karena hanya aku yang bisa melihat kejadian itu, sementara yang lain tidak bisa melihatnya dengan kasat mata.
Kembali aku melangkah dengan cepat menuju kelas. Aku merasa tidak enak badan disekujur tubuh. Hingga pada akhirnya, sekujur tubuhku mulai terserang demam yang cukup tinggi. Teman-teman yang lain membujukku untuk istirahat di UKS. Namun, aku tak mau karena tak ingin ketinggalan pelajaran.
“ Aku antar ke UKS ya, Raa. Biar bisa istirahat. “ bujuk salah satu temanku. Aku hanya menggelengkan kepala.
Tet . . tet . . tet . . Bunyi bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Dengan lemas aku berjalan dengan dibopong oleh salah satu temanku. Sesampai di rumah, aku hanya bisa terbaring lemah karena sakit yang tiba-tiba itu. Kemudian, aku ceritakan apa yang kulihat tadi pagi di sekolah kepada orang tuaku.
“ Ma, tadi Raraa lihat ada cowok yang meninggal di lapangan sepakbola sekolah. Kepalanya ngeriii . . hampir pecah dan darahnya mengenai tepat di sepatu Raraa. “ ungkapku lemah.
“ Kenapa nggak di tolong ? “ tanya mamaku kaget.
“ Gimana mau nolong. Orang dianya bukan dari alam kita. “ jelasku. Barulah mama mengerti. Kata mama, mungkin sakitku ini karena efek melihat peristiwa di sekolah tadi.
Ya, memang ! Aku punya penglihatan yang jarang dipunyai orang. Tapi, kadang aku takut dengan pemberian Tuhan yang satu ini. Apakah aku harus mensyukurinya atau membuangnya jauh-jauh ? Aku ingin hidup normal layaknya anak-anak yang lain, bukan abnormal seperti yang ada pada diriku ini.
Setiap ada kejadian mengerikan di sekolah, entah itu kesurupan, kerasukan, atau apalah namanya. Aku selalu mengetahui siapa “orang-orang” yang berani merasuki teman-temanku itu. Hanya saja aku bungkam, aku tak ingin dijauhi oleh teman-teman karena ketidaknormalanku ini. Aku tak ingin teman-teman menganggapku orang yang aneh karena ini lah, itu lah. Aku berusaha bersikap normal, walaupun aku tahu aku tak bisa terus-terusan menyimpan dan menyembunyikan semua ini.

Hari itu di sekolah, adalah hari pembagian raport kenaikan kelas. Dengan gugup aku menunggu pembagian itu. Namun, nilai-nilai di raport membuatku enggan berkomentar apa-apa.
“ Kok bisa nilaiku jadi serendah ini ? “ tanyaku dalam hati tanpa kutahu jawabannya.
Dan pembagian jurusan pun telah diumumkan. Aku mendapat jurusan Bahasa, jurusan yang memang aku minati pada saat kelas X (Sepuluh). Bertemu teman-teman baru yang tidak selokal pada saat kelas X (Sepuluh), menjadikan sensasi tersendiri didalam kelas kami. Perlahan-lahan, ku mulai akrab dengan teman-teman baruku ini. Kadang tertawa bersama, kadang juga menangis bersama-sama.

Pada bulan Ramadhan tahun 2016. Aku dan teman-teman mengikuti pesantren kilat seharian. Dari jam 08.00 pagi hingga habis Maghrib kami hanya ada di sekolah. Saking ramainya kami ngumpul-ngumpul, tak terasa waktu berbuka puasa akan tiba. Seluruh murid disuruh masuk ke dalam aula untuk membaca Ayat Suci Al-Quran bersama-sama. Waktu berbuka pun tiba, kami kembali ke kelas untuk makan bersama. Waktu itu, keadaan koridor sekolah lumayan gelap. Hanya beberapa kelas yang terlihat terang.
Aku dan teman-teman yang lain bersama-sama menuju ke kelas yang letaknya paling ujung. Entah karena apa, saat itu hatiku mulai merasakan sesuatu yang lain. Perasaan yang campur aduk. Semakin ku tepis, semakin mengerikan saja keadaannya. Aku pun memasuki kelas dengan raut muka yang terpaksa normal.
“ Selamat makan “ kataku kepada teman-teman yang lain.
“ Yah, nasinya udah dingin. “ keluh salah satu teman perempuanku.
“ Tapi, ikannya lumayan kok. Ada lalapannya pula. “ kataku lagi.
Dengan lahap mereka memakan makanan yang tersedia. Sementara aku ? Aku tak bisa lahap, karena aku tahu ada seorang anak perempuan yang menatapku tajam dengan wajahnya yang pucat, dibalik jendela kaca yang terpampang disamping kiriku. Namun, seolah tak terjadi apa-apa, aku berusaha menghabiskan semua makanan yang ada.
“ Aku kenyang “ kataku sambil mengelus-elus perutku.
“ Kita pulang yukk .. “ ajak temanku yang lain.
“ Yukk ... Tapi barengan yaa .. “ kataku lagi.
Aku pulang dengan hati yang gelisah. Aku gelisah karena ingin mengetahui maksud dan tujuan anak perempuan itu. Mengapa dia semakin sering menampakkan diri padaku ? Kenapa bukan kepada orang lain ?
“ Assalamualaikum.. “ kataku memberi salam setelah memasuki rumah.
“ Waalaikumsalam.. “ jawab mamaku yang sedang menonton TV.
“ Cape . . Mau makan lagi “ keluhku.
“ Itu di dapur masih ada makanan. “ kata mama dengan menunjukkan jari telunjuknya ke dapur. Aku pun makan lagi.

Setelah beberapa bulan kemudian, saat itu di kelas menunjukkan pukul 11.30 siang. Aku terdiam dan merebahkan kepalaku di meja. Mataku seakan tak mau tertutup, tangan dan tubuhku mulai gemetar. Aku mendengar jeritan anak perempuan yang menangis meminta tolong. Aku pun hampir menangis dibuatnya.
“ Apa yang harus kulakukan ? Aku tak bisa menyentuhmu apalagi menolongmu ! “ tanya dan sesalku dalam hati.
Teriakan demi teriakan terdengar sangat memilukan. Aku mendengar dia di caci oleh sekelompok lelaki yang aku pun tak tahu siapa. Aku hanya bisa mendengar tanpa bisa menolong. Sampai pada saatnya, teriakan itu tidak terdengar lagi dan aku memejamkan mata untuk menguasai ketakutanku.
Tak bisa kita pungkiri bahwa didunia ini ada kehidupan lain yang tidak bisa diketahui dengan kasat mata. Oleh sebab itu, hargailah mereka, jika kita menginginkan kebersamaan secara damai dalam satu dunia.

Pantun Jenaka

Kucing bermain dengan tali
Kera duduk membaca koran
Bagaimana hati tak geli
Kepala botak suka sisiran

Pantun Cinta

Di pinggir kolam makan bubur
Jangan lupa pakai keripik
Dari semalem aku gak bisa tidur
Selalu teringat wajahmu yang cantik

Pantun Persahabatan

Ayuk pergi minum jamu
tapi jangan sampai kebanyakan nanya-nanya.
Wahai kawan jagalah persahabatanmu

supaya kekal untuk selama-lamanya.

Pantun Keluarga

Walau menghabiskan tenaga
Ayah selalu berpesan kepada kita
Kalau nanti kamu berkelana
Jagalah lidah dan telinga